Rakyat Diperas, Kapitalis Harus Dipapas!



Oleh : Izza

Skema perhitungan pajak tahun ini membuat gigit jari. Potongan yang tak biasa membuat tak ikhlas dirasa. Tak lain hal ini disebabkan dampak dari perhitungan pajak tarif efektif. TER membuat rakyat makin diperas, saatnya beralih ke sistem yang mampu beri solusi tuntas.

Adapun pemotongan ini berdasarkan PP no. 58 Tahun 2023 dan aturan turunannya yakni PMK no. 168 Tahun 2023. Aturan yang berlaku sejak 1 Januari 2024 ini menyinggung bahwa bonus, Tunjangan Hari Raya (THR), dan jasa produksi (bonus) masuk ke dalam penghasilan kena pajak. 

Selain itu skema TER potongan PPh dihitung setiap bulannya berdasarkan dari besaran gaji bruto yang didapat. Jadi jika ada tambahan pemasukan seperti THR maupun bonus akan lebih besar potongannya dibandingkan bulan sebelumnya tanpa THR maupun bonus. Sama dengan begini, semakin besar pemasukannya semakin besar pula potongan yang dirasa. 

Meskipun dikatakan oleh Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Dwi Astuti bahwa TER tidak menambah beban pajak yang ditanggung oleh wajib pajak. Dan Beban pajak kumulatif seseorang selama setahun akan tetap sama. Namun bagi pekerja, tentu sangat terasa. Mekanisme ini berjalan dari bulan Januari hingga November. Dan saat Bulan Desember akan ada perhitungan ulang untuk mengkroscek kelebihan bayar atau tidak. Jika dirasa ada kelebihan bayar maka diharapkan perusahaan akan mengembalikan selisihnya.
  
Namun potongan yang ada membuat seseorang harus rela mengatur ulang rencana keuangannya. Apalagi jika ia tumpuan keluarga disaat lebaran tiba. Potongan pajak yang besar ditambah kenaikan harga barang dan jasa menjadikan terus berfikir ulang tentang perjalanan ke kampung halaman.

Demikianlah pajak adalah bagian khas dalam perekonomian kapitalisme. Pajak dijadikan sumber penerimaan terbesar bagi negara. Pada prinsip kapitalisme pula pajak yang diambil menjadi modal dalam kegiatan bernegara. Terbukti dari jumlah kontribusi penerimaan negara. Pada tahun 2023 penerimaan pajak berkontribusi paling besar dengan nilai Rp. 2.155,4 triliun. Capaian ini setara dengan 112,6% dari target APBN.

Yang demikian berbanding sangat jauh dengan sumber penerimaan lain. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada 2023 hanya mencapai Rp. 605,9 trilliun. Padahal PNBP didapat dari hasil Pemanfaatan Sumber Daya Alam, Pengelolaan Barang Milik Negara dan sejumlah hak negara lainnya.
Hal ini memilukan sebab Indonesia dikenal dengan melimpahnya SDA. Namun justru penerimaan negara dibebankan kepada pajak. Semua sektor tak lepas dari pajak. Sedangkan fasilitas dan layanan tak dapat leluasa publik dapat rasakan. 

Terbukti dari pembangunan infrastruktur seperti jalan tol misalnya. Tetap saja ada tarif yang harus rakyat keluarkan jika ingin menikmatinya. Begitu pula dengan dana perlindungan sosial. Meski pajak mengalir cukup besar untuk hal tersebut. Masih didapati banyak warga miskin dan anak terlantar hidup di kolong jembatan. Belum lagi sederet pembiayaan lain dari pajak yang ternyata rakyat pun masih mengeluarkan biaya lagi atasnya.

Ironisnya pajak dianggap menjadi bentuk keberpihakan pemerintah terhadap sistem keadilan ekonomi. Dengan adanya pajak akan mampu menghangatkan sistem ekonomi suatu bangsa. Prinsip pajak adalah harus mampu dan mau merebut harta dari orang-orang kaya. Namun faktanya, pajak lebih mudah diambil dari orang-orang menengah kebawah saja.

Kondisi yang demikian berbeda jika aturan yang diterapkan adalah aturan Islam. Negara dengan sistem dan aturan islam yakni Khilafah akan mengoptimalkan sumber daya alam. Seperti laut, padang rumput, migas maupun pertambangan. Tak hanya itu Khilafah pun juga memiliki pos pos pendapatan lain. Seperti fa’i dan kharaj.
Belum lagi pendapatan dari infaq maupun zakat. Yang jelas akan dipergunakan untuk kesejahteraan warganya. 

Sedangkan dharibah atau pajak hanya akan ditarik kepada orang-orang kaya saja. Dalam kondisis insidental saat kas negara sedang kosong dan dalam keadaan yang mendesak. Sehingga dalam Negara Khilafah pajak bukanlah sumber pendapatan utama. Serangkaian kebijakan pun juga akan diterapkan untuk memastikan kesejahteraan warganya. Setiap individu dalam Daulah akan dipastikan bisa hidup sejahtera bukan sekedar bisa makan saja. 

Hal ini diwujudkan dalam pemberian layanan kesehatan dan pendidikan murah bahkan gratis. Hal ini niscaya karena aturan yang diimplementasikan bersandar pada prinsip syara. Dimana Islam mewajibkan setiap insan untuk senantiasa menuntut ilmu. Aturan Islam pula menjadikan seseorang jauh dari bersifat aniaya. Bahkan dengan kondisi jalanan yang mebuat seseorang terluka. Khilafah akan memastikan setiap infrastruktur layak dan dapat dilalui. Bukan seperti tol yang ada saat ini.

Tak hanya itu standar kelayakan upah juga akan ditinjau. Memastikan seseorang layak mendapat upah sesuai dengan hasil kerja kerasnya. Maka dalam Daulah akan banyak orang bisa sejahtera. Tak perlu menunggu THR. Yang ternyata kini, semua belum tentu menerima.

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama